Sore itu kita bertemu di lapangan olahraga kota, kau setia duduk dan menungguku di tepi lapangan yang masih rimbun dengan pepohoan. Sementara aku menyelesaikan target jogging-ku, empat puluh lima menit berlari berkeliling lapangan.
Nafasku masih terengah engah ketika menghampiri dan duduk di samping mu, keringat masih mengucur di pelipis kanan ku, air mineral langsung saja ku teguk hampir habis setengahnya.
” Sudah … ? ” tanyamu
” Done, empat puluh lima menit tanpa jeda ” ujarku dengan bangga
Seperti biasa kau hanya tergelak kecil, sambil menatapku setengah meledek ” Program penurunan berat badan ? ”
” Engga, pengen sehat aja …”
Kau kembali tergelak, aku tak menghiraukannya. Ahh kau memang begitu. Kemudian kita memandang kedepan, memperhatikan mereka yang masih berlari di lapangan, ada yang berlari sendiri, berdua, ada juga yang bergelombol berlari sambil bercanda bersama kawannya.
Kombinasi matahari sore dan warna coklat lapangan, membuat sore ini terasa begitu terasa jingga. Di lapangan ada orang yang hanya berjalan, sebagian berlari kecil konstan, sebagian berlari kencang.
Ada yang hanya berjalan saja, mungkin ia sedang menikmati sore yang jingga ini saja. Ada yang berlari cepat dengan jarak jarak pendek. Ada yang berlari kecil tapi tak berhenti. Ada yang awalnya berjalan, kemudian berlari kecil, dan lalu berlari sangat cepat.
Lima menit itu kita nikmati dengan melihat pemandangan itu, lalu kau membuka pembicaraan.
” Kamu tau apa yang membedakan gaya lari mereka ”
” Hmm entah, mungkin kebiasaan mereka saja ” pertanyaan mu membuatku jadi sedikit berfikir
” Kebiasaan saja ? atau ada yang lain ? tujuan misalnya ”
” Tujuan …. ? ”
” Ya tujuan. Kamu lihat laki laki yang memakai jaket biru itu” ujarmu sambil menujuk seorang pria yang tak jauh jarak nya dari kami.
” Sebelum lari laki laki itu selalu melihat jam, ia seprti menghitung waktu yang tepat untuk memulai, kemudian ia berlari cepat dengan jarak satu atau dua putaran kemudian berhenti ”
” Kemudian kamu lihat, mereka yang berlari bersama sama itu. Mereka berlari dengan kecepatan konstan, aku hitung meraka telah berlari enam atau tujuh putaran, tanpa berhenti dan selalu bersama ”
” Satu lagi, lihat disana, laki laki kecil yang memakai jaket hitam. Awalnya ia hanya berjalan saja, kemudian berlari kecil, hingga berlari kencang ”
” Menurut mu apa yang membuat mereka berbeda gaya …? ”
Ah cyg lagi lagi kau selalu “memaksa” ku untuk berfikir lebih dalam tentang hal hal yang menurutku biasa saja.
” Apa ya …. mungkin lebih ke kesukaan atau kebiasaan ”
” Analisamu dangkal sekali … ”
” Lalu apa menurutmu … ”
Agak lama kau terdiam, mungkin memberikan ku kesempatan untuk berfikir lebih dalam lagi
” Tujuan … ”
” Mereka berbeda tujuan. Ada tujuan nya kecepatan, ada yang tujuan nya jarak tempuh. Kau lihat, dua laki laki yang berlari nya kencang itu, mereka berdua berlari cepat, namun jarak tempuhnya pendek pendek saja, ia lari kemudian berhenti,. Ia Berlari kencang kemudian berhenti ”
Gemerisik angin sore itu menjeda kalimatmu
” Dan kau lihat, mereka yang berlari lari kecil disana. Memang mereka tidak cepat, namun mereka berlari pasti. Jarak tempuh mereka lebih panjang. Mereka konstan hingga titik henti. Titik henti yang sepertinya telah mereka tentukan. Entah titik henti oleh jarak atau oleh batas waktu. Yang jelas mereka berlari lebih jauh ”
” Lalu mana yang lebih baik …? ” tanyaku
” Tidak ada yang lebih baik. Semua tentang pilihan. Tentang apa yang ingin kau tuju. Tentang seberapa cepat engkau berlari ataukah sejauh jarak yang ingin kau tempuhi. Bahkan adakalanya kau perlu melakukan keduanya ”
” Namun, yang perlu kau tahu adalah kau tau kapan saatnya kamu berlari pelan, kapan saatnya kau berlari kecil namun pasti, berlari kecil konstan menatap tujuan yang ada di depan mu atau saatnya kau berlari kencang … ”
” Karena dalam kehidupan tak selamanya kau perlu berlari. Karenaaku tidak mau, kau kehabisan tenaga di tengah perjalanan, disaat tujuan itu masih sangat jauh. Karena aku tak ingin energi mu melemah di saat kau masih setengah jalan. Karena aku tak mau kau kehabisan daya disaat kau masih perlu banyak berkarya ”
” Bijaksanalah …. ”
Penutup kalimatmu menundukan fikiranku, menembus rasa ku. Lalu kita pun tenggelam dalam diam menikmati jingganya sore ini. Angin semilir sore itu seakan mengantar kita untuk berdiskusi dengan diri kita sendiri.
Kututup mataku menikmati gemersik angin yang berbunyi di sela dedaunan, menikmati matahari sore yang menembus hangat pada raga kita. Melamati setiap kata kata yang tadi kau ucapkan.
Dan ketika ku buka mata, seperti biasa kau pun menghilang ….
See You Soon Naka …..
Dan aku pun beranjak menuju lapangan lagi, meneruskan lima belas menit yang ingin ku habiskan untuk memaknai kata kata terakhirmu : Bijaksanalah ….