” Ah … dia mah datang pas butuhnya aja ” mungkin kalimat itu pernah terucap dari bibir kita atau setidaknya pernah terlintas dalam hati kita, ketika ada seorang teman yang kita merasakan melupa kita, ketika dia suka, atau ketika ia telah berjaya.
Padahal ketika dia merana, dia selalu ingin bersama kita. Berwaktu waktu ia mengampiri kita, bercerita segala cemas, berupa gundah gulana, berbagai luka dan duka, dan kita selalu menyetia ada untuk nya.
Namun setelah badai yang ia rasakan telah berlalu, ia pun juga berlalu, melupa. Ia tak lagi menyapa kita, bahkan tak mau tau dengan hidup kita, diam, tak peduli dan menyibuk dengan dunia nya. Luka ia bagi dengan kita, namun ketika bahagia atau suka, ia rasa tak pantas untuk berbagi dengan kita, dia telah dengan dunianya …
****
Mungkin ini dirasakan oleh beberapa diantara kita, ketika seorang teman berlalu dengan mudah nya. Saat duka dia ingin kita ada, namun saat suka diapun entah kemana, sudah menemukan dunia barunya, lupa dengan siapa dia pernah melalui badai dalam hidupnya.
Saya pernah merasakannya. Ini yang dinamakan pamrih barangkali. Kita menghitung hitung “kebaikan” yang telah kita lakukan kepada orang lain, atau mungkin kita hanya merasa telah berbuat baik. Yang kemudian kita merasa berhak “menutut” ia membalas apa yang telah kita lakukan terhadapnya dengan sepadan.
Kemudian, saya coba melihat kedalam diri lebih dalam lagi, kenapa saya sampai merasa seperti itu, seharusnya ikhlas saja, terhadap apa yang telah kita usahakan untuknya, walaupun balasannya justru berbeda. Jangan jangan saya pun begitu, namun saya tidak menyadarinya.
Atau saya menjadi manusia yang penuh “pamrih”, membisakan diri menghitung hitung kebaikan dan jasa yang telah kita perbuat, sehingga ketika balasan adalah sebaliknya, maka hati kita menjadi sempit.
Padahal sejatinya kebaikan itu akan kembali kepada kita sendiri, dalam berbagai bentuk, entah ia membalas yang serupa atau tidak. Jangan jangan ketika menghitung, mengingat dan menuntut di balas dengan yang sepadan, justru nilai kebaikan yang pernah kita lakukan menjadi lebur, tak berbekas apa apa untuk kita, dan kita merugi tak mendapat kebaikan dan nilai apa apa.
Manusiawi ? ya memang bisa dibilang sangat manusiwi, karena kita mempunyai berbagai emosi dan reaksi. Namun semoga kita bisa tak berhenti dan menggantungkan diri dari kata “manusiawi”.
Kita harus menguasahakan yang lebih dari itu, memberikan kebaikan kemudian melupakannya. Karena hidup yang sedang kita jalani sekarang ini, pasti ada peran kebaikan orang lain yang bisa jadi tak kita ingat atau kita tau tapi kita lupakan.
Dan yang terpenting yang harus kita garis bawahi, bahwa kebaikan yang mampu kita lakukan adalah atas izin-Nya, Jadi kenapa kita harus merasa berbalas …
To Be Continued …