Seberapa kuatkah ketahanan dan ketahanan negara kita ?
Well, saya bukan orang yang ada di kapasitas ini untuk menjawabnya. Debat presiden beberapa waktu lalu yang membahas tentang seberapa kuat ketahanan militer negara kita, membawa ingatan saya akan percakapan beberapa tahun lalu dengan seorang komandan kapal TNI AL sewaktu saya dalam program berkeliling Nusantara, menggunakan amada KRI untuk program sosial dan pendidikan.
Dalam perjalanan saya berkesempatan berbincang bincang dengan seorang Komandan KRI , kami bincang bincang sederhana, tentang lautan Indonesia. Beliau adalah seorang anggota TNI AL, yang sudah belasan tahun bertugas menjaga lautan Indonesia. Ia bercerita tentang betapa luasnya lautan kita, ribuan pulau, dengan jutaan kekayaan dan pesona baik di permukaan, pantai, juga di dalam lautan itu sendiri.
Begitu luasnya perairan Indonesia, berbatasan dengan lebih dari satu perairan negara lain, bahkan benua. Beliau bercerita, kondisi seperti ini adalah dua sisi mata uang, bisa jadi sebuah anugrah, bisa juga menjadi ancaman.
Anugrah yang besar ketika kita mampu untuk menjaganya, saat kita mampu memaksimalkan potensi nya untuk kemakmuran dan kesejahtraan masyarakatnya, dan menjadi ancaman ketika kita tidak benar benar menjaga perairan Indonesia, yang nyatanya banyak negra lain “menginginkan” kekayaan negara kita.
Beliau bercerita lebih dalam, bahwa jumlah angkatan laut saat ini, tidak sebanding dengan perairan yang mesti di jaga, terutama di daerah perbatasaan. Perairan Indonesia sangat luas, butuh angkatan laut yang kuat baik kualitas dan kuantitas. Masalah kecintaan para TNI, tidak usahlah diceritakan lagi, namun fasilitas yang menjadi “senjata” kita menjaga masihlah sangat kurang
Dengan mata yang menerawang keatas, beliau berujar panjang lebar “Dek Riska, bayangkan luas nya laut kita, barat, timur, utara, selatan, namun pangkalan laut yang besar hanya ada di Jakarta dan Surabaya, segala alat kelengkapan ada disana, padahal perairan mana yang perlu dijaga? ada di Timur Indonesia, Selatan Indonesia, Utara Indonesia, yang jaraknya jauh dari Surabaya, jauh dari Jakarta. Bayangkan ketika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan di wilayah Timur misalnya, kita harus lama menunggu bantuan yang datang dari Jakarta atau Surabaya”
Mendengar penuturan beliau, seakan membukakan mata saya lebar lebar, tentang kenyataan yang ada. Empat tahun terakhir ini saya mengunjungi bebarapa pulau di Indonesia, dari perairan Mentawai, NTT, Papua, hingga ke perbatasaan Indonesia-Filipina, benar adanya, bahwa di pulau pulau tersebut.
Menurut penilaian saya -orang awam- pangkalan angkatan laut nya sangat terbatas, hanya berupa kantor perwakilan saja. Adapun penjagaan dari para TNI AL yang bertugas hanya beberapa kapal saja, tidak bisa “mengcover” wilayah Indonesia yang sangat sangat luas.
Beliau kemudian menceritakan lagi tentang sesuatu yang barangkali menjadi keresahannya ” Banyak negara lain menawarkan untuk melakukan penelitian terhadap kekayaan perairan bawah laut kita, dengan tawaran bahwa apabila penelitian ini berhasil, maka akan membawa kesejahtraan banyak untuk negara kita”
Beliau terdiam sejenak, kemudian melanjutkan ” Namun kita tak pernah tau, apakah mereka benar benar ingin memberi bantuan pada negara kita, atau dibalik itu ternyata mereka memang mencari informasi kekayaan kita, atau peta kekuatan bangsa kita”
“Negara kita negara yang sangat kaya, banyak yang mengingingkannya” kalimat terakhirnya begitu dalam, matanya berkaca kaca, seperti tak sanggup melanjutkan.
Dia menutup percakapn kami dengan curahatan hati nya ” Kalau memikirkan hal ini, saya kadang sangat sedih, sungguh dek riska. Tapi ada daya, saya hanya prajurit, tak bisa berbuat banyak” dan akhirnya pun kami hanya diam seraya mendengarkan ombak malam yang menghempas buritan kapal.
Percakapan malam itu, meninggalkan banyak pertanyaan dalam diri saya. Masih banyak PR untuk menjaga Bangsa kita ini.
Waspada adalah sebuah keharusan, urusan Bangsa rasanya tidak elok bila kita terus berasumsi semuanya akan baik baik saja. Membuka mata akan realita, bersikap waspada, disalahkan artikan sebagai sikap pesimisme. Dimanakah nalar ditempatkan ? Membuka mata akan realita bukan berarti kita pesimis akan cita cita. Justru sebaliknya, realita yang ada, adalah pijakan kita untuk bagaimana meraih cita cita.
Termasuk cita cita berbangsa. Rasanya sangat naif menilai bahwa 20 tahun kedepan tak akan terjadi invasi apa apa, tak akan ada negara lain yang ingin “masuk” ke dalam negara kita. Mengurus negara tidak cukup hanya dengan merasa semua akan baik baik saja, karena itu akan membuat kita terlena.
Mengakui realita bukan sebuah kesalahan, jusrtu tidak mengakui realita yang ada adalah kebodohan, dan kemauan untuk terus dibodohi. Jangan terlena dengan prestasi semu yang justru melemahkan diri kita, membuat kita seolah olah diatas nirwana, padahal ancaman ada di depan mata, kita saja yang pura pura tidak mengetahuinya, atau mungkin memang dibuat tidak mengerti
Update Tulisan 06 Jan 2020 :
Dan sekarang saat mencuat kasus perairan Natuna, hati ini kembali bersedih. Teringat pembicaraan diatas dengan seorang Kapten Kapal NKRI. Ah semoga yang ditakutkan tidak terjadi.
Semoga masih ada pemimpin Bangsa sebenar benarnya, yang melindungi kedaulatan tanah air nya, yang menjaga harga diri bangsanya, yang menjaga kehormatan dan kemerdekaan negaranya
Jayalah Selalu Indonesiaku …..
Semoga pemimpin berikutnya, adalah ia yang benar benar mencintai Nusantara ini …