Bagaimana Belajar Dari Kesalahan

” Belajarlah dari kesalahan masa lalu …”

kalimat bijak yang sering kita dengar tentang nasihat agar kita tidak kembali melakukan kesalahan yang sama atau pada perkara yang sama.

Selintas terdengar mudah, walau pada kenyataanya tidak semudah itu bukan ?

Karena memang tidak selalu “se-otomatis” itu kita belajar dari kesilapan masa lalu, tidak ada penjaminan saat kita salah di masa lalu maka kita akan benar di masa depan, tidak selalu kita bisa bercermin dari hari yang lalu

Dan pada akhirnya -entah sadar atau tidak- kita melakukan kesalahan yang sama, pada perkara yang sama ….

—-

Barangkali seperti ini sebaiknya ; alih alih dari langsung menyatakan tentang bagaimana “Belajar dari kesalahan masa lalu …” yang pertama kali baiknya dilakukan adalah :Menyadari bahwa masa lalu adalah sebuah kesalahan…”

Karena kesadaran adalah awal mula perubahan. Menyadari tentang rangkaian pikiran, rasa, atau tindak yang tidak tepat yang telah kita lakukan semasa itu …

Menyadari tentang apa saja yang telah kita lewatkan, menyadari perkara penting apa yang telah kita abaikan, menyadari apa yang saat itu sempat kita lupakan

Menyadari pada apa kita terbuai, pada apa kita terlena, pada sesiapa kita terjebak…

Mengakui adalah langkah selanjutnya. Karena kadang kita enggan untuk mengakui kesalahan dengan berbagai alasan. Entah alasan yang berupa pembelaan serta pemakluman diri, atau pun rasa gengsi untuk berani menerimanya sebagai kesalahan yang memang kita lakukan

“This is because of him ….”

“This is out of her …”

“This happen by reason of circumstances ….”

Apalagi alih alih kita menempatkan kesalahan tersebut kepada orang lain atau keadaan. Menempatkan diri kita seolah olah hanya sebagai korban tiada daya, korban keadaan, korban orang lain. Maka, bila kita terkungkung di sudut ini, maka tiada kita kemana mana ….

Maka lapangkanlah dada dan rasa, bahwa itu ada karena ada peran kesalahan dan kesilapan kita juga …

“Its oke beeing wrong, people made mistake, me – you – we are ….”

Apabila kita sudah menyadari dan mengakui kesalahan tersebut, maka akan lebih terang bagi kita untuk mengintropeksi diri. Melamati tentang di bagian mana kesalahan kita, di sudut pandang mana kita tertabir, di peta pikiran mana terjebak dan rasa apa kita telah terjerembab

Kemudian setelah itu, menjernihkan hati tentang bagaimana yang benar dan seharusnya

Menyadari, mengakui, dan mengintropeksi diri adalah bekal kita untuk menghadapi masa kini dan masa depan.

Maka, ketika menghadapi kondisi yang kurang lebih atau serupa dengan kejadian di masa lalu, maka kita bisa kembali melihat “catatan” masa lalu, bercermin darinya, memandanginya, berbincang dengannya

Seraya tersenyum kepadanya dan berucap :

“Hei …terimakasih sudah mengajariku …

Advertisement

Mengukur Kehidupan Orang Lain

Dalam keseharian, tanpa disadari kita seringkali memberikan ukuran dan penilaian pada kehidupan orang lain menggunakan ukuran atau standart yang dibuat berdasarkan “ukuran” hidup kita.

Misalnya ada kawan, saudara, kerabat yang kita nilai salah satu bagian hidup nya ada di posisi di “bawah” kita. Dan karena merasa poisisi kita “diatas” dia, maka dengan mudahnya kita  memberikan penilaian, mengomentari, menyalah nyalahi akan kehidupannya saat ini.

Ke-superior-an, kesuksesan, keberhasilan kita saat ini, level hidup yang dirasa leboh baik, dijadikan alasan untuk pantas mengomentari, menilai, mengukur, menstandari tentang kehidupan orang lain di bawah kita.

 ” Harusnya dia beginilah, harusnya dia begitulah, salah dia sih begini, salah dia sih begitu,  ko dia ga belajar ya, ya dia sekarang kaya gini soalnya dia begitu, katanya pengen maju tapi kerjaannya begitu, dia ga maju maju karena begini begitu, dsb …”

Kemudian bersambung kita membandingkan dengan apa yang telah kita kerjakan dan apa yang telah kita capai

” Harusnya kaya saya nih, tuh kan lihat saya, udah punya ini, udah punya itu, bisa ini – bisa itu, kaya saya dong begini , dsb …”

Kata kata yang mungkin walau tidak terucapkan, tapi terbersit dalam hati kita ketika melihat, kawan, saudara, rekan kita yang kehidupannya sedang ada di “bawah” kita. Kita begitu pandai “menangkap” kondisi orang lain, dan kemudian membuat standar standar ukuran, berdasarkan standar hidup kita.

Salah ? Entahlah, tapi tidak bijak sepertinya. Karena setiap orang memiliki jalur sendiri akan hidupnya, jalan hidup setiap orang tidak ada yang sama, cerita tak akan da yang serupa. Setiap orang pada akhirnya akan menemukan titik balik, titik sukses, titik kehidupan dengan caranya masing masing.

Bila kita sudah dalam tahap baik, tahap keberhasilan, tahap kesuksesan, maka tidak elok rasanya mengomentari dan menertawai mereka yang sedang bergelut mencari titik berhasilnya, titik sukesnya, sedang berpayah payah menyusun hidupnya.

Lebih bijak rasanya, bila posisi berhasil kita saat ini adalah sebagai sumber kebaikan, sumber inspirasi, menjadi kawan setia bagi mereka yang masih berjuang, masih berusaha keras, masih berikhitar dalam kehidupannya. Karena kita tidak pernah tau sejauh mana, sekeras apa dia berjuang dalam hidupnya, karena yang kita lihat seringkali hanya permukaannya saja.

Ini bukan tentang pepatah “roda kehidupan berputar” atau “uruslah hidupmu saja”, tapi tentang bagaimana melembutkan hati, tentang berempati kepada kehidupan orang lain, tentang belajar pada kehidpan dan menyadari bahwa sukses, sejahtera, dan posisi kita saat ini, semata mata bukan hanya hasil kerja keras kita, tapi ada Izin-Nya di dalamnya.

Maka Lembutkanlah Hatimu …

 

 

 

Fn : Sebuah nasihat diri akan rasa jumawa yang kadang tak terasa

 

 

Me”Ratting” diri

Pernahkah kita secara sadar atau tidak sadar melakukan ratting kepada diri sendiri? ya, melakukan penilaian pada diri kita sendiri, di berbagai aspek, pekerjaan, kesehatan, rumah tangga, keuangan bahkan ratting kadar keimanan.

Apa salah kita melakukan rating kepada diri kita sendiri ? In My Humble Opinion, hal ini tidak salah, karena menjadi tolak ukur apakah dari masa ke masa apakah kita mengalami peningkatan -tentunya ke arah kebaikan- apa tidak. Justru hal ini penting untuk menjadi tolaj ukur, apakah kita menjadi manusia yang beruntung,karena masa ini lebih baik dari masa sebelumnya  atau justru  menjadi manusia yang merugi, yang masa ini tak lebih baik dari masa kemarin.

Yang kadang terjadi adalah, kita -termasuk saya- me ratting diri atas orang lain, entah teman kita, saudara, atau rekan kerja. Merasa diri lebih baik, lebih berprestasi, lebih mulia dari orang lain yang di hadapan kita. Tak hanya me ratting diri sendiri, juga melakukan “pe rating an” kepada orang lain, atas hal yang sebenarnya semu dan sementara.

Atau bahkan kita sibuk “menunjukan” bahwa grade kita diatas dari mereka, dengan banyak hal, dengan gaya bicara, dengan pembawaan, dengan barang barang yang melekat pada diri kita. Kita sibuk “menampakan” apa apa keberhasilan yang telah kita raih, kepada mereka yang kita anggap rate nya di bawah kita. Hanya untuk menunjukan dalam maksud  samar sebuah kalimat “Hei..look at me, i’m better than you” atau hanya ingin semacam mengungkapkan ” My level above you”

Atau barangkali tidak bermaksud untuk merememhkan teman atau saudara kita, tapi masih terselip keinginan untuk “dilihat” bahwa kehidupan yang kita jalani sekarang sangat hebat dengan segala pencapaian dan perubahan yang kita alami

Ah… padahal semua prestasi dan keberhasilan yang kita miliki,adalah mutlak karena Kebaikan-Nya, karena Persetujuan-Nya. Tak ada hak kita untuk me-ratting diri kita kepada orang lain.

Fn : Tulisan random, tentang perasaan hari ini, semoga bisa menjadi cerminan diri, untuk membersihkan segala penyakit hati