Dalam keseharian, tanpa disadari kita seringkali memberikan ukuran dan penilaian pada kehidupan orang lain menggunakan ukuran atau standart yang dibuat berdasarkan “ukuran” hidup kita.
Misalnya ada kawan, saudara, kerabat yang kita nilai salah satu bagian hidup nya ada di posisi di “bawah” kita. Dan karena merasa poisisi kita “diatas” dia, maka dengan mudahnya kita memberikan penilaian, mengomentari, menyalah nyalahi akan kehidupannya saat ini.
Ke-superior-an, kesuksesan, keberhasilan kita saat ini, level hidup yang dirasa leboh baik, dijadikan alasan untuk pantas mengomentari, menilai, mengukur, menstandari tentang kehidupan orang lain di bawah kita.
” Harusnya dia beginilah, harusnya dia begitulah, salah dia sih begini, salah dia sih begitu, ko dia ga belajar ya, ya dia sekarang kaya gini soalnya dia begitu, katanya pengen maju tapi kerjaannya begitu, dia ga maju maju karena begini begitu, dsb …”
Kemudian bersambung kita membandingkan dengan apa yang telah kita kerjakan dan apa yang telah kita capai
” Harusnya kaya saya nih, tuh kan lihat saya, udah punya ini, udah punya itu, bisa ini – bisa itu, kaya saya dong begini , dsb …”
Kata kata yang mungkin walau tidak terucapkan, tapi terbersit dalam hati kita ketika melihat, kawan, saudara, rekan kita yang kehidupannya sedang ada di “bawah” kita. Kita begitu pandai “menangkap” kondisi orang lain, dan kemudian membuat standar standar ukuran, berdasarkan standar hidup kita.
Salah ? Entahlah, tapi tidak bijak sepertinya. Karena setiap orang memiliki jalur sendiri akan hidupnya, jalan hidup setiap orang tidak ada yang sama, cerita tak akan da yang serupa. Setiap orang pada akhirnya akan menemukan titik balik, titik sukses, titik kehidupan dengan caranya masing masing.
Bila kita sudah dalam tahap baik, tahap keberhasilan, tahap kesuksesan, maka tidak elok rasanya mengomentari dan menertawai mereka yang sedang bergelut mencari titik berhasilnya, titik sukesnya, sedang berpayah payah menyusun hidupnya.
Lebih bijak rasanya, bila posisi berhasil kita saat ini adalah sebagai sumber kebaikan, sumber inspirasi, menjadi kawan setia bagi mereka yang masih berjuang, masih berusaha keras, masih berikhitar dalam kehidupannya. Karena kita tidak pernah tau sejauh mana, sekeras apa dia berjuang dalam hidupnya, karena yang kita lihat seringkali hanya permukaannya saja.
Ini bukan tentang pepatah “roda kehidupan berputar” atau “uruslah hidupmu saja”, tapi tentang bagaimana melembutkan hati, tentang berempati kepada kehidupan orang lain, tentang belajar pada kehidpan dan menyadari bahwa sukses, sejahtera, dan posisi kita saat ini, semata mata bukan hanya hasil kerja keras kita, tapi ada Izin-Nya di dalamnya.
Maka Lembutkanlah Hatimu …
Fn : Sebuah nasihat diri akan rasa jumawa yang kadang tak terasa