Beberapa hari yang lalu, media sosial lumayan ramai dengan berita “Taman Dilan” yang diresmikan oleh Bapak Gubenur Ridwan Kamil. Makin ramai ketika “urang Bandung” mulai membahas sekaligus mempertanyakan tentang, kenapa sih mesti ada yang namanya “Taman Dilan” ….. ?
Pertama saya tahu berita ini dari sebuah account IG. Dalam hati langsung bilang ” Duhhh ko ga penting bangettt yaaa “, memang Bandung sedang membangun iconic nya dengan taman, dengan berupa tema. Namun peresmian “Taman Dilan” ini sungguh jadi kontrovesi di masyarakat, terutama masyarakat Bandung
Saya penasaran juga dengan tanggapan netizen akan hal ini. Saya telusuri komen komen di postingan yang membahas hal ini, juga di account IG Bapak Gubernur, dan juga media elektronik yang mengangkat isu ini.
Diluar dugaan, tanggapan mereka kebanyakan – para kaum millennials – rupanya “tidak setuju” akan adanya taman ini. Nada protes di lontarkan oleh para anak anak millenals ini, baik di account IG berita, juga di account JABAR 1.
Padahal mungkin tujuannya agar taman ini bisa menarik perhatian kaum millennial
” Emang apa jasa dilan buat Indonesia ? “
“ Ini taman ngajarin pacaran ala2 dilan gitu maksudnya … ?
Dan tanggapan tanggapan lainnya, sampai dihubung hubungkan dengan kondisi permasalahan masyarakat JABAR yang masih butuh prioritas lain, dibandingkan mengurus hal hal yang mereka anggap “receh” seperti ini. Sampai dihubungkan dengan kepentingan perolehan simpati suara untuk PEMILU APRIL 2019 nanti, dsb.
Namanya juga netizen, bebas buat berkomentar mungkin yaaa… hhe
Saya lebih tertarik pada tanggapan JABAR 1 dalam berita di sebuah media, ketika para wartawan menanyakan tanggapan beliau, tentang kontroversi “Taman Dilan” ini. Jawaban beliau kemudian adalah bahwa taman ini punya tujuan meningkatkan literasi. Karena film dilan itu diangkat dari sebuah novel yang sukses best seller, di film kan, dan kemudian masuk jajaran film terlaris di Indonesia
Karena saya bergerak di bidang literasi, saya lebih tergelitik untuk bertanya, literasi apa yang di dimaksud ? Rasanya agak masih belum bisa mengambil irisan antara dan keterkaitan antara novel dilan, film dilan, dan dibangunnya sebuah taman …
Apakah dengan ada “Taman Dilan” ( atau katanya itu sebuah sudut saja ) itu akan membuat orang tergugah membaca, berliterasi ? atau setidaknya disitu akan dibangun perpustakaan kecil atau quote quote penggugah, agar orang orang diajak untuk membaca, sebagai gerbang awal berliterasi
Padahal berliterasi tidak hanya perkara baca buku, lalu selesai. Tanpa memperhatikan konten dalam buku tersebut. Dalam literasi itu ada proses berfikir tentang baik – buruk, benar – salah, bermanfaat atau tidak.
Kalau berliterasi cukup dengan membaca novel, kemudian apa2 di dalam nya ditiru tanpa ada proses berfikir, maka itu bukan berliterasi. Apalagi apabila sampai membawa manfaat yang buruk.
Saya tidak antipati dengan film atau novel dilan. Saya pun pernah membaca bukunya, dan film pertama saya sempat nonton juga. Namun apabila Fenomena Dilan ini semacam ditasbihkan dan kemudian di benarkan dengan dibuat monumen, taman atau yang semacamnya, menurut saya pribadi hal ini berlebihan.
Tak hanya berlebihan, tapi “Taman Dilan” ini bisa jadi semacam pembenaran dan dukungan akan apa yang dilakukan oleh seorang Dilan yang sebenarnya hanya tokoh fiksi saja. Tidak ada nilai yang sangat terasa dari tokoh utama ini, untuk dijadikan panutan generasi muda. Untuk sebatas hiburan, boleh lah ….
Masih wondering aja sampai sekarang, ko bisa pa JABAR satu meresmikan “Taman Dilan” itu, yang sekarang jadi kontraproduktif di masyarakat. Kalau hanya untuk membantu gimmick2 film biar fantastis, popularitas, atau membuat viral, rasanya sangat mubazir. Lebih dari itu, masyarakat saat ini -juga generasi muda- sudah lebih cerdas untuk menilai sesuatu apakah itu perlu atau tidak, urgen atau tidak, bermanfaat atau tidak
Sekian ….
Kamis, 28 Februari 2018
Curhatan mojang Bandung, yang suka film, suka taman, cinta Bandung