Sederhana, kupanggil dia dengan nama Abah, walaupun tak pernah tepat ku tau nama lengkapnya, seorang pria berusia 50 tahun-an, yang sudah ku kenal lebih kurang dari tiga tahun, tempatku berlari, tempat ku bersembunyi dari hari hari.
Seperti hari itu, aku ingat, rabu malam pukul tujuh malam, saat kota kecil ku diguyur segemericik hujan yang turun berkepanjangan. Berbasah basah aku mengendarai motor metik putih, melawan gemericik hujan, tanpa selembar jas hujan, hanya sebuah jaket abu agak tebal, syal merah, dan sepotong kegundahan yang bergumul di dada.
Orang orang sudah mulai beranjak pulang, jalanan lumayan lenggang, aku berjalan ke siliwangi, dan berbelok ke cisitu atas, dingin sungguh, sarung tanganku pun sudah tak banyak menghalang dingin, karena basah tertitik hujan.
Hatiku basah, dingin, kepalaku berkecamuk dengan bertubi tubi pertanyaan, kegundahaan, kekecewaan, dan lain lain. Aku mentok tepatnya, aku tak bisa bercerita apa adanya pada mereka, hanya pada Abah, aku apa adanya.
Kubuka pagar kayu sebuah rumah yang sederhana, ada abah di teras, sedang melukis.
“Assalamualaikum bah”, kucium tangannya, “Waalaikum salam.., “ seraut wajahnya saja, telah mampu mendamaikan hatiku. Selanjutnya aku tertunduk, menghindari tatapan mata abah, yang sepertinya mencari cari apa yang sedang terjadi denganku.
Hujan masih menggerimis, basah
Abah meneruskan lukisan nya, tangannya yang tua dan kekar menggaris pasti mengikuti bisikan hati, rambutnya panjang diatas bahu, masih hitam digerai dibiarkan tak karuan. Aku duduk berpindah tepat di samping abah, menyandar tembok, memperhatikannya, dan dia pun asik tenggelam di dalam dunianya.
Hujan semakin tipis, namun tidak mata ini, bulir demi bulir mengalir per 7 detik, kemudian menjadi per 5 detik, menjadi per 3 detik, Dan kemudian genaplah menjadi lebih dari per satu satuan detik …
Aku terisak pelan-perlahan, namun terus meninggi, air mata ini benar tak terhenti, tak mau berhenti, aku hanya menangis, kuhapus dengan punggung tangan, namun selalu mengalir, lagi dan lagi.
Aku begitu koyak, perih, kecewa, terluka, semua bergumul di hati dan kepala, semua peristiwa berkelebatan di kepala. Abah hanya sesekali melirik ku, namun tangannya masih tetap menari nari di atas kanvas, merah, biru, kuning
Aku menangis dan dia melukis
Kami seperti dalam dua dunia yang berbeda. Namun tidak, dia yang memicu bulir bulir ini, dan aku tau dalam setiap gerakan koas nya, dia ada untuk-ku
Cukup itu saja-cukup seperti ini saja
“ …Bah, kenapa ya begitu banyak hal yang tidak kita mengerti, banyak hal yang tak berujung dengan jawaban, dan kenapa aku begitu meresa sendirian, kesepian, aku rapuh rupanya, aku tak sekuat yang ku kira…” Kalimat panjang itu yang hanya keluar dari mulutku, diikuti isak kecil ku yang tak bisa ku tahan
sesudah itu kami sunyi kembali, lama …
Selanjutnya yang hanya ada bunyi kuas di atas kanvas, setipis sendu hujan, dan sisa sisa tangisku yang melemah. Kali ini hanya isak tangis, air mata yang semakin sabar mengalir, beritme sepuluh detik sekali.
Sunyi ……
Pukul sebelas malam, aku harus pulang, aku harus beristirahat.
Aku berdiri, dengan kepala yang masih tertunduk, “Bah….. saya pamit” , Abah melatakan kuas nya, dan ikut berdiri, memandang mataku, perlahan mengusap kepalaku
“ … Serahkan pada Allah, semua hal hal yang sampai sekarang tak kau mengerti, semua hal diluar jangkauan kamu, apa yang kamu yakini atau bahkan kamu ragu, karena semua terjadi karena sebuah alasan, sebuah tujuan, di ujung nanti kamu pasti mengerti akan semua ini, sok neng, Abah mah yakin kamu kuat, lahaullla wala quwatta illla billhah, semua akan berlalu, minta ke Allah untuk beresin semua urusan kamu…sekarang istirahat ”
Aku kembali terisak, mencium tangannya.
“Assalamualaikum” aku pamit, “Waalaikumsalam” dia mengusap punggung tanganku, melepas ku dari teras.
Aku pulang, masih ditemani segemericik hujan, masih dengan mata yang sembab, air mata yang masih mengalir, namun saat ini dengan hati yang kembali menghangat.
Hatur Nuhun Abah …