Bagaimana Belajar Dari Kesalahan

” Belajarlah dari kesalahan masa lalu …”

kalimat bijak yang sering kita dengar tentang nasihat agar kita tidak kembali melakukan kesalahan yang sama atau pada perkara yang sama.

Selintas terdengar mudah, walau pada kenyataanya tidak semudah itu bukan ?

Karena memang tidak selalu “se-otomatis” itu kita belajar dari kesilapan masa lalu, tidak ada penjaminan saat kita salah di masa lalu maka kita akan benar di masa depan, tidak selalu kita bisa bercermin dari hari yang lalu

Dan pada akhirnya -entah sadar atau tidak- kita melakukan kesalahan yang sama, pada perkara yang sama ….

—-

Barangkali seperti ini sebaiknya ; alih alih dari langsung menyatakan tentang bagaimana “Belajar dari kesalahan masa lalu …” yang pertama kali baiknya dilakukan adalah :Menyadari bahwa masa lalu adalah sebuah kesalahan…”

Karena kesadaran adalah awal mula perubahan. Menyadari tentang rangkaian pikiran, rasa, atau tindak yang tidak tepat yang telah kita lakukan semasa itu …

Menyadari tentang apa saja yang telah kita lewatkan, menyadari perkara penting apa yang telah kita abaikan, menyadari apa yang saat itu sempat kita lupakan

Menyadari pada apa kita terbuai, pada apa kita terlena, pada sesiapa kita terjebak…

Mengakui adalah langkah selanjutnya. Karena kadang kita enggan untuk mengakui kesalahan dengan berbagai alasan. Entah alasan yang berupa pembelaan serta pemakluman diri, atau pun rasa gengsi untuk berani menerimanya sebagai kesalahan yang memang kita lakukan

“This is because of him ….”

“This is out of her …”

“This happen by reason of circumstances ….”

Apalagi alih alih kita menempatkan kesalahan tersebut kepada orang lain atau keadaan. Menempatkan diri kita seolah olah hanya sebagai korban tiada daya, korban keadaan, korban orang lain. Maka, bila kita terkungkung di sudut ini, maka tiada kita kemana mana ….

Maka lapangkanlah dada dan rasa, bahwa itu ada karena ada peran kesalahan dan kesilapan kita juga …

“Its oke beeing wrong, people made mistake, me – you – we are ….”

Apabila kita sudah menyadari dan mengakui kesalahan tersebut, maka akan lebih terang bagi kita untuk mengintropeksi diri. Melamati tentang di bagian mana kesalahan kita, di sudut pandang mana kita tertabir, di peta pikiran mana terjebak dan rasa apa kita telah terjerembab

Kemudian setelah itu, menjernihkan hati tentang bagaimana yang benar dan seharusnya

Menyadari, mengakui, dan mengintropeksi diri adalah bekal kita untuk menghadapi masa kini dan masa depan.

Maka, ketika menghadapi kondisi yang kurang lebih atau serupa dengan kejadian di masa lalu, maka kita bisa kembali melihat “catatan” masa lalu, bercermin darinya, memandanginya, berbincang dengannya

Seraya tersenyum kepadanya dan berucap :

“Hei …terimakasih sudah mengajariku …

Advertisement

Definisi Bahagia …

Siapa sih yang tidak ingin hidupnya bahagia ?

Rasa rasanya tidak ada yang tidak ingin bahagia dalam hidupnya. Kadang orang melakukan sesuatu mati matian agar dia mengejar dan merasakan kebahagiaan dalam hidupnya.

Pertanyaan yang mungkin harus kita clear di awal adalah :

Apa sih definisi bahagia … ?

Setiap orang sepertinya mempunyai ragam jawaban yang berbeda. Tergantung sudut pandang, kondisi dia saat ini, latar belakang, masa lalu, atau harapan harapan di masa depan, dan lain sebagainya.

Mungkin ada yang menjawab : ” Bahagia itu ketika kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan …..” atau ada yang menjawab “Bahagia itu ketika kita meraih kesuksesan ….” atau “Bahagia itu ketika kita bisa membahagiakan orang orang yang kita cintai ….”

Bagi orangtua mungkin bahagia itu ketika melihat anak anak nya bertumbuh sehat, cerdas, dan menjadi anak yang soleh. Atau bagi sang peraih impian, bahagia itu adalah ketika dia mendapatkan kebebasan financial sehingga kita bisa berbuat banyak untuk dirinya dan banyak orang.

Atau definisi bahagia yang sederhana. Ketika seorang petani melihat sawahnya menguning subur bertumbuh, atau seorang ibu yang bahagia ketika makanan nya habis dilahap oleh suami dan anak anaknya, atau ketika seorang supir angkot yang bahagia ketika uang hasil tarikannya cukup untuk membayar biaya SPP anak anaknya, atau bagi seorang wanita bahagia itu ketika bisa bersanding dengan laki laki idamannya …

Tidak ada definisi yang pasti untuk menerjemahkan makna kebahagian, tergantung bagaimana di konsidi manusia tersebut berada ….

Menarik ketika seorang teman mendefinisikan tentang kebahagian melalui cerita seorang komedian yang baru baru ini ditangkap karena kasus narkoba. Konon katanya pekerjaan komedian adalah membuat orang lain tertawa, dan ketika melihat orang lain tertawa maka ia pun akan bahagia, harusnya ia bahagia karena telah membuat orang lain bahagia.

Tapi dalam sebuah wawancara, sang komedian ini mengaku bahwa “Hidup saya tidak bahagia ….” sehingga narkoba itu lah pelariannya. Padahal di sisi lain hidupnya ia adalah seorang yang baik juga, menjadi tulang punggung keluarga, banyak membantu orang lain, dan tentunya banyak disenangi oleh orang lain.

Lalu apa yang salah ? kenapa dia tak kunjung bahagia, walaupun dia sudah bisa memberikan “kebahagian” kepada orang lain ?

Kemudian teman saya ini membuat kesimpulan yang cukup membuat saya kembali tersadarkan. Bahwa ada tingkatan dalam definisi kebahagian, ada yang menerjemahkan kebahagian yang disadarkan pada dirinya sendiri, kebahagian yang ia sandarkan kepada orang lain, dan yang ketiga adalah kebahagian yang di sandarkan kepada Sang Pencipta.

” Memuaskan keinginan keinginan diri, atau memuaskan keinginan keinginan orang lain terhadap diri kita, tidak lah membuat kita mendapatkan makna bahagia yang sesungguhnya ….”

Karena kita akan mendapatkan kebahagian sesungguhnya adalah, ketika kita hidup dengan sesuai dengan keinginan SANG PENCIPTA atas diri kita

Tak salah ketika kita mendefiniskan bahagia melalui kacamata kita. Namun bila kita terus sandarakan kebahagian tersebut pada hal hal yang tak abadi, maka kebahagian itu pun akan tidak abadi, apapun itu …

Maka, mari kita belajar untuk “naik kelas” bahwa kebahagian adalah ketika kita menjalankan hidup sesuai dengan keinginan Sang-Pencipta atas diri kita, karena disanalah letak kebahagian sesungguhnya, kebahagian Abadi

Ah lagi lagi ini nasihat untuk saya pribadi, pembicaraan dengan kawan saya ini menyadarkan saya. Bahwa sering kali kita lupa untuk menyandarkan kebahagian kita kepada-Nya. Dalam definisi-Nya.

Alih alih kita terus mengejar kebahagiaan yang kadang kala seperti fatamorgana, nampak seperti air yang menyejukan, namun nyatanya hanya bayangan saja, ketika kita hampiri, ia bukan apa apa dan kita pun kecewa

Saya pun sama, sedang belajar untuk mendefinisikan bahagia yang sebenarnya

Bandung, 10 September 2019

 

LIKE ADDICTED ! Sebuah pelajaran dari seorang AWKARIN

Kemarin, beberapa percakapan dengan seorang kawan, membawa saya nonton Video nya AWKARIN yang berjudul “I QUIT INSTAGRAM”

Diantara kontroversial kisah hidupnya, ada beberapa hal yang bagus untuk dijadikan pelajaran. Di video tersebut ia mengungkapkan tentang apa yang terjadi dalam hidupnya, salah satunya adalah tentang bagaimana sosial media -yang selama ini menjadi sumber penghasilannya- menjadi salah satu sumber strees dan depresinya.

Ko bisa ? Awkari mengungkapkan bahwa dulu ia posting sesuatu ke Instagram, hanya karena ia ingin berbagi saja, berbagi moment saja, berapa jumlah like pun bukan jadi hal yang penting.

Namun seiring waktu ia kemudian menjadi seorang bintang di sosial media, dalam posisi dikenal banyak orang, banyak pengggemar, diberikan banyak respon dalam setiap postingannya,dan ternyata hal tersebut menggiring ia pada sebuah kondisi yang kemudian “merusak” kejiwaannya. LIKE ADDICTED !

Di posisi itu ia menjadi sangat terpengaruh dengan berapa jumlah “like” yang ia dapat, berapa banyak respon yang ia dapat. IS ALL ABOUT ENGAGEMENT. Ia menjadi sangat senang ketika postingan nya direspon banyak orang, dan itu NAGIH, semacam candu

Dan ketika ekspektasi like nya tidak sesuai harapan, ia menjadi tertekan, stress, over thinking dan kemudian bertanya tanya kenapa yaaa ko like nya dikit ? Apa yang salah dengan postingan saya ? Saya harus ngapain ya biar di like dan di respon sama orang ?

Dan kemudian ia berusaha mencari berbagai cara agar bagaimana postingan nya kembali disukai banyak orang. Dan itu membuatnya tertekan, yang hampir mengantarkan dirinya ke titik depresi

Syukurnya, Awkarin segera menyadari hal itu. Bahwa hal tersebut berbahaya untuk jiwanya. Ia kemudian menyadari ada akibat dari sosial media yang kemudian merubah hidupnya, bisa berpengaruh kepada kejiwaannya. Dan akhirnya dia memutuskan beberapa saat untuk berhenti sementara dari Instagram, hidup di dunia nyata dan membuka lembaran baru hidupnya.

Pelajaran yang baik menurut saya dari sepenggal kisah seorang Awkarin. Kita, orang biasa pun sangat bisa mengalami hal itu. Ketagihan like, ketagihan komentar, merasa senang gembira ketika postingan kita di komentari banyak orang, dan merasa cemas ketika tidak banyak tanggapan. Mantengin terus notifikasi, ketagihan posting, dsb (Mungkin hampir setiap orang pernah mengalaminya, dengan level yang berbeda beda, dari yang wajar sampai tingkatan bahaya)

Terlihat seperti hal simple, tapi sebenarnya tidak juga, dari artikel2 yang saya baca, kondisi tersebut di tahapan tertentu bisa membawa kepada masalah kejiwaan yang mengkhawatirkan, sudah banyak yang mengalami.

Teman saya yang pernah mengalami hal ini, kemudian pilihan dia adalah menghapus media sosial dari HP nya. Dia bilang : ” Pengen hidup lebih tenang aja sih …”

——–

Nah intinya bukan tentang media sosial nya yang salah, tapi tentang kitanya. Karena media sosial pun terbukti oleh orang banyak orang dimanfaatkan sebagai cara syiar, cara mengajak kepada kebaikan dan jadi jalan kebermanfaatan yang sangat luas

Media sosial benar benar mempunyai dua sisi mata uang. Waktu demi waktu kita harus bener2 ngecek, apa unsur postingan kita apakah benar2 untuk berbagi kenikmatan, apa untuk menyampaikan kebaikan dan inspirasi, apa hanya ingin mengejar ketertarikan, apa ingin selalu terlihat eksis, dsb

Pertanyaan semacam ini harus terus kita tanyakan pada diri kita, -dan ini sangat personal sekali-. Jangan sampai postingan kita justru jadi bumerang buat AMAL KITA dan juga KEJIWAAN kita …

Dan ketika ada kemungkinan/ fenomena seperti ini, bukan beraarti menghentikan aktifitas kita di media sosial, we have to keep doing good through social media and keep minding our soul … 😉

Sekian, Semoga Bermanfaat 

Bijaklah Bermedia Sosial
Sayangi Jiwa Kita
Sayangi Amal Kita

like

Not Easy Come – Not Easy To Let Go !

Beberapa hal yang saya makin sadari -dan bahkan saya alami- beberapa saat ini. Tentang sebuah kosa kata yang sudah sering kita dengar “Easy Come – Easy Go”.  Sesuatu yang gampang di dapat, katanya akan gampang juga untuk lepas, atau dilepaskan. Jadi kaya semacam ga “sayang” gitu,  karena mungkin proses atau perjuangan mendapatkannya juga ga butuh effort yang telalu gimana gitu. “Ya udahlah … ga apa apa …”

Mungkin benar adanya, tapi ga selalu begitu. Ada hal hal yang kita memang tidak terlalu sulit kita dapatkan, namun setelah kita dapatkan, kita bersungguh sungguh untuk menjaganya, memeliharanya, sebagai wujud rasa syukur.

Namun sebaliknya, saya rasa. Apabila kita sedang berusaha mendapatkan sesuatu hal yang dijalankan nya tidak mudah, prosesnya berliku, jatuh bangun nya sangat kerasa, pahit getir nya silih berganti, maka ketika kita sudah di tahapan mendapatkannya, kita tak akan sembarangan melepasnya. Kita akan sekuat tenaga menjaganya, memeliharanya, memastikannya ia tetap ada, seperti keinginan kita di mula.

Ini bisa dalam hal apa saja : Rizki, Jodoh,Keluarga, Situasi, Impaian, Cita Cita Dsb

Kerena biasanya saat kita ingat proses yang kita lalui ketika memperjuangkan apa yang kita mau, maka kita akan sangat berhati hati menjaganya. Kita menghargai rasa perih dan luka, kita menghargai waktu dan tenaga, kita menghargai segala daya upaya, kita menghargai diri kita.

Maka, pribahasa “Easy Come – Easy Go” mungkin tidak selalu seperti itu. Namun apa yang sudah kita benar benar perjuangkan, akan sayang untuk kita lepaskan : “Not Easy Come – Not Easy To Let Go ! “

Maka, apabila sesuatu yang saat ini sepertinya tidak mudah kita dapatkan, maka ini adalah sebuah cara Allah agar kelak -setelah kita dapatkan- kita akan sepenuh jiwa menjaganya, mempertahankannya …

Setuju ?

Life Is About Adjusment

Karena apa yang terjadi dalam hidup, terkadang -bahkan sering kali- tidak sesuai dengan yang kita harapkan, apa yang kita citakan. Juga apa yang berjalan kadang tidak seperti apa yang kita telah dengan baik kita rencanakan, serapih apapun itu, sematang apa pun itu.

Saat kita mempunyai sebuah cita dan niat baik, yang kemudian apa yang terjadi tidak sesuai harapan dan perencanaan, maka mungkin ini tentang tiga hal ; Pertama, tentang seberapa teguh kita mempunyai keinginan ; Kedua, mungkin ini tentang bagaimana kita bisa menyikapi dan beradaptasi atas kondisi yang ada ; Ketiga, mungkin ini tentang keduanya, tentang meneguhkan hati dan bisa beradaptasi menyesuaikan diri dengan kondisi nyata yang ada. Life Is About Adjusment

Cita yang baik dan tinggi, kadang nggak mudah begitu saja mudah teraih, dan terlaksana. Dalam perjalannya akan menemu hambatan, rintangan, percabangan, jalan jalan yang memudar, atau bahkan seakan jalan yang buntu. Mungkin disinilah titik uji, apakah itikad kita seteguh cita kita. Apakah segala sulit dan halangan akan membuat kita balik kanan, berpulang, dan membatalkan impian. Ini tentang yang Pertama

Kedua, ini tentang bagaimana kita bisa menyikapi atas hal yang tidak sesuai harapan. Satu waktu mungkin kita begitu teguh bahwa semua hal yang telah terencana, pasti akan nyata. Namun, ada kala kita peka bahwa ada sesuatu hal yang dirubah, kita perlu melakukan banyak penyesuaian, entah itu merubah cara, mencari alternatif usaha, atau bahkan memilih jalan yang berbeda. Karena kadang kita menutup mata akan realitas. Memilih berbelok arah, atau sejenak berhenti berjalan, belajar untuk menerima, bahwa kita harus beradaptasi dengan kondisi yang ada. Tidak memaksakan diri.

Kemudian, yang Ketiga, adalah perpaduan keduanya. Saat sesuatu tidak sesuai dengan keinginan, cita, harapan dan perencanaan. Kita tidak menghentikan impian kita, tak begitu saja menghapus cita kita, tak mudah begitu saja menghentikan langkah dan berbalik arah, melambai tangan dan kembali pulang.

Namun kita tetap teguh menggenggam segala cita kita, tetap memeluknya dalam jiwa kita, sembari tetap berlapang dada ketika segala sesuatu tidak selancar yang kita duga, tidak secepat yang kita harap. Berlapang dada berarti mau untuk berkawan dengan realitas, menerimanya dengan jiwa yang luas, fikiran yang ikhlas. Untuk kemudian mencari cara yang bijak, agar kita mampu menyikapi realitas adalah sebuah cara kita untuk belajar, belajar cerdas, belajar sabar, belajar bijak, belajar berteguh, belajar yakin atas cita, impian, dan niat baik kita.

Life Is About Adjusment, Be Wise

Fn : Salam hangat dari kota Bandung, yang tiba tiba dianugrahi hujan di waktu yang hampir tengah malam.

Kamis, 19 April 2018

11.34 Pm

 

 

 

 

~ Jangan Jangan Kita Hanya Merasa … .

348dc0d7-ff95-490e-88e4-b7ab0ce20cbcJleb banget dapet mame ini, betapa seringkali nya kita memberikan komentar terhadap orang lain, karena ia tak sama dengan apa yang kita lakukan.

Karena kita sedang lapang, maka dengan mudah memberikan penilaian untuk mereka yang sebenarnya sedang kesulitan.

Karena kita telah mahir berlari, maka dengan mudahnya memberi cibir pada mereka yang sedang tertatih untuk bisa berdri lagi.

Karena kita sudah merasa berdaya, maka dengan mudahnya memberi komentar tak nyaman pada mereka yang sebenarnya sedang bersungguh sungguh berusaha.

Kita tidak mencoba memberi jeda pada hati kita, untuk melihat lebih dalam, hanya senang memberikan komentar pada hal hal yang hanya terlihat di permukaan ..

Padahal barangkali sesungguhnya apa yang ia lakukan, lebih mulia dari kita, hanya saja tak tampak di permukaan

Ah barangkali jiwa kita yang hanya pandai merasa

Merasa lebih baik , Merasa lebih mulia …

#SelfRemainder

Hidup Itu Costumize Tidak Template

Tidak ada yang akan bakal sama percis dalam hidup ini. Sebuah cara mungkin akan berdampak bagi seseorang, tapi belum tentu bagi yang lainnya. Sebuah jalan mungkin akan menjadikan sukses seseorang, tapi belum tentu yang lainnya.

Karena setiap orang akan menemui jalan nya masing masing, akan menjumpai cara nya sendiri sendiri. Maka meniru percis jalan keberhasilan seseorang belum tentu tepat, karena setiap orang mempunyai perbedaan kekuatan, perbedaan pengalaman, ilmu, kemampuan, perbedaan ciri khas, karakter, lingkungan, dsb.

Yang diperlukan adalah, bagaimana mengambil ajaran hidupnya,  kebajikannya, kebaikannya, kelemahannya, saripati nilainya, prinsip intinya, karena itu yang penting. Karena ku kira, hidup ini tidak bisa dijalani dengan cara “tamplate” , sama percis segalanya, ditiru segala hal dari hulu hingga hilirnya.

Karena hidup ini perlu dijalankan dengan “costumize“, dimodifikasi, disesuaikan, ditambahkan, dikurangkan, dikali atau dibagi. Tujuan kita dengan yang lainnya bisa jadi sama, pola yang dijalankan bisa berbeda. kita akan menemukan cara yang sesuai dengan keadaan, kebutuhan, kemampuan, kapasitas, harapan dan tujuan kita.

So, mari belajar untuk bisa pandai dan bijak dalam meng-costumize hidup, belajar bijak memilih cara, belajar cerdas memilah jalan, menentukan pola, tidak memilih berdasarkan kebanyakan, atau memilih hanya dasar peniruan semata.

pattern

 

Karena, tujuan bisa saja sama, namun pola bisa jadi berbeda ….

And

Lets Do Our Happy Journey … 🙂

 

Mengakui Kelemahan Diri, Sudahkah ?

Berubah menjadi seseorang yang lebih baik, adalah keinginan setiap orang. Siapa sih yang tidak mau menjadi seseorang yang jauh lebih baik dalam hidup-nya. Berubah itu diinginkan, namun tidak begitu saja mudah dilakukan. Apalagi kita tidak tahu kenapa kita harus berubah atau apa yang perlu kita rubah.

Perubahan hampir sulit kita lakukan, disaat kita tidak tahu apa yang harus kita rubah. Disaat kita merasa diri kita baik baik saja, disaat kita tidak merasa ada yang salah dalam diri kita, maka menjadi manusia yang move up menjadi pribadi yang lebih baik adalah sebuah kemustahilan.

Salah satu hal yang sering terlupa ketika kita ingin berubah menjadi pribadi yang lebih berdaya, adalah menyadari kesalahan diri, mengakui kealfaan diri, dan juga menerima kelemahan diri.

 

MENGAKUI KELEMAHAN …

Lalu, hal lainnya yang sering kita lupakan adalah mengakui kelemahan. Manusia, Allah ciptakan dengan kelebihan juga kelemahan yang unik antar masing masing individu. Allah menciptakan kita dengan adil dan proporsional. Namun kita kadang yang samar mengetahui dan mengakui kelemahan diri atau keterbatasan diri.

Ada kalanya kita tidak mengakui bahwa ada daya yang terbatas dalam diri kita. Kita merasa mampu melaksana segala, serba bisa. Padahal apa yang kita laksana adalah kelemahan diri kita. Kita tidak melaksana apa yang menjadi daya utama kita. Kita terlalu memaksa diri, berlebihan.

Tidak mudah memang mengakui kelemahan diri, apalagi jika kita adalah tipe orang yang berenergi, antusias terhadap sesuatu, percaya diri. Kelemahan diri kita pun akan sulit diakui ketika kita terlalu fokus keluar, terlalu bingar, terlalu larut dalam keramaian.Kita menjadi lalai melihat diri, mendiagnosa diri, mencari sisi kita yang tumpul, menyadari bagian diri yang memang lemah.

Ibarat sedang  berlari jauh, kita tidak dahulu memperhatikan kondisi kesehatan kita, bagaimana kaki kita, bagaimana tubuh kita, bagaimana pernafasan kita, kita hanya peduli terhadap berlari.

MAKA ….

Maka, ketika ingin berubah, -selain mengetahui STRONG WHY kenapa kita harus berubah- hal lain yang juga penting, adalah mengetahui,  mampu untuk mengukur apa sisi lemah kita.

Mengakui kelemahan diri membutuhkan keberanian jiwa, tidak mudah memang, kadangkala kita perlu berdiam terlebih dahulu, mengheningkan diri. Untuk bisa membaca diri, menelisik diri, mengevaluasi diri, yang sulit kita lakukan saat kita dalam bingar dan hingar.

Atau bila dirasa perlu, kita bertanya pada mereka yang sering membersamai kita, yang tau lama diri kita, mereka yang kita rasa bisa menilai diri kita apa adanya, mereka yang tulus mencintai kita.

Sehingga kita tau apa yang harus diperbaiki, apa yang harus kita batasi, apa yang baik kita lejitkan, apa yang mampu kita ledakan dari diri kita. Tidak hanya keunggulan diri yang melulu selalu kita cari, namun apa yang menjadi kesalahan dan kelemahan diri pun harus kita sadari.

Sehingga kita menjadi manusia yang seimbang, menjadi manusia yang adil pada diri sendiri, faham potensi diri. Ketika tau tentang kekurangan dan kelemahan diri pun, kita menjadi manusia yang tau apa yang perlu kita rubah dan perbaiki.

Maka untuk berubah di perlukan tidak hanya tentang mencari potensi diri namun sadari tentang kelemahan diri. Menyeimbang.

Maka…

Sudakah Kita Mengakui Kelemahan Diri ?

Tepatnya ….

Sudahkah Saya Mengakui Kelemahan Diri ?

 

 

Benarkah Kita Memuliakan Anak Yatim ? (Part 1)

Sudah lama pertanyaan ini menggelitik di fikiran saya, tak hanya menggelitik, namun jadi semacam keresahan dalam fikiran, tentang bagaimana kebanyakan dari kita -masyarakat Indonesia- “memperlakukan” anak yatim.

Contohnya seperti saat ini, moment Ramadhan, dimana orang orang berbondong bondong ingin berbuat kebaikan, karena ini adalah bulan yang mulia, dimana setiap amal perbuatan di lipat gandakan kebaikan dan pahalanya.

Hal yang paling sering kita saksikan adalah, buka bersama dengan anak yatim. Dimana anak anak yatim di undang ke suatu tempat, entah itu restoran, mall, perkantoran atau sebagainya. Acaranya biasaya ada hiburan, makan makan, kemudian bagi bagi santunan untuk anak anak, dimana mereka dibariskan satu satu untuk mendapatkan amplop kepada para donatur.

Atau misalnya, moment lain ketika seseorang merayakan ulang tahun nya, atau sedang tasyakur binimat karena sesuatu hal, maka biasanya mereka mengundang anak yatim, dengan pola yang sama, sedikit perayaan, makan makan dan kemudian pembagian bingkisan lalu mereka pulang.

Entahah, saya ada meresa ada sesuatu yg meresahkan fikrian saya dengan tujuan kita untuk “memuliakan dan membahagiakan anak yatim” dengan cara seperti ini.

Kenapa ? Karena saya dan adik pernah menjadi anak yatim, di usia kami yang relatif masih kecil. Waktu itu saya -terutama adik- sering mendapatkan undangan seperti ini dari orang orang, entah itu acara syukuran sebuah kantor, acara charity sebuah perusahaan, program lembaga zakat, atau acara acara ramadhan.

Ada semacam perasaan malu dan minder sebenarnya, ketika waktu itu kami dikumpulkan dalam sebuah acara, diundang ke sebuah tempat yang banyak orang, diseragamkan dan bahkan di bariskan saat akan dibagikan nasi box atau amplop sumbangan.

Saat itu rasanya punggung ini sulit untuk tegak dihadapan orang orang yang disebut dengan para donatur, apalagi apabila di acara itu ada anak anak sebaya kami yang bukan dari kalangan anak yatim, misalnya mereka anak para donatur. Ada perasaan rendah diri atau minder sebenarnya yang saya rasakan, apalagi ketika terlihat perbedaan antara kami anak yatim dan mereka sang donatur.

Mungkin memang tidak ada maksud dari para donatur, lembaga sosial, atau siapa pun itu untuk membuat kami merasa begitu. Lagi pula “ritual” seperti ini sudah dari dahulu dilakukan oleh masyarakat kita. Tujuan mereka mulia, ingin berbagi kesyukuran dan kebahagian dengan para anak yatim. Dan juga memori rasa “minder” itu kadang terbawa juga sampai besar, perasaan tidak berdaya, perasaan kurang beruntung, perasaan minder karena selalu di kasihani, dsb.

Bersambung ….

Pertanyaannya, Apakah Kamu Peduli ?

 

do-you-care-logo-200x217

Kemarin saya menghabiskan sore hari di Mesjid Salman ITB, karena mendapatkan info bahwa di sana setiap sore ada kajian kajian menarik hingga jelang magrib. Sebelumnya saya cek info di IG, ternyata sore itu ada sesi sharing dari pasangan suami istri muda, Dalu Nuzlul Kirom, S.T & Nafizah, S.T.

Saya baru mendengar nama pasangan muda ini, namun di digital flyer yang dicantumkan, bahwa mereka adalah penggagas kawasan edukasi Dolly, hal ini yang membuat saya tertarik untuk datang


Mas Dalu adalah penggiat wirausaha dan eduksi di wilayah bekas lokalisasi prostitusi dolly, sedangkan istrinya, Mba Nafizah adalah penggiat pendidikan anak di wilayah madura. Mereka berkolaborasi untuk melakukan hal hal bermanfaat yang berjangka panjang kepada masyarakat.

Secara keseluruhan sesi sering atau talkshow sangat menginspirasi, menyaksikan pasangan suami istri yang berkomitment untuk berjuang bersama sama memberikan manfaat pada masyarakat dengan apa yang mereka benar benar butuhkan.

Ada satu hal yang menjadi AHA saya saat itu, saat sang moderator bertanya kepada Mas Dalu, perihal kenapa ia memilih untuk menjadi seorang sosial entrepreneur, padahal ada kesempatan lain yang mungkin lebih bagus buat beliau untuk bekerja dan menghasilkan materi yang tidak sedikit dengan bekerja di perusahaan perusahan besar, dengan modal pendidikan yang ia miliki.

Jawabannya diluar dari perkiraan saya. Biasanya jawaban standar yang saya dengar dari orang orang yang menggelari dirinya dengan pengusaha adalah, ” Agar lebih bisa cepat kaya, agar bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain, agar lebih leluasa waktu, agar bisa mengatur diri sendiri, dsb ”

Namun jawaban beliau, menjadi BIG NOTED untuk saya, jawaban beliau kurang lebih seperti ini

” Saya tidak pernah mendikotomikan pengusaha, pebisnis, atau karyawan. Karena setiap profesi mempunyai peran nya masing masing. Sebenarnya semua sama saja, ini tentang pilihan dan panggilan, bukan mana yang lebih baik dari yang lainnya. Ini semua balik lagi ke niat nya, apabila ternyata seseorang yang memilih bekerja di sebuah perusahan dan ternyata ia bisa memberikan manfaat kepada banyak orang atas profesinya itu, atau dia bisa membatu banyak orang dengan materi yang ia miliki” 

” Dibandingkan misalnya pengusaha yang niatnya hanya gaya gayaan aja menjadi pengusaha, padahal dia tidak ada rasa peduli terhadap orang lain, atau mungkin sebaliknya. Saya rasa semua sama saja, mau dia pekerja, pengusaha atau pebisnis. Catatannya adalah apakah ia peduli dengan kondisi masyarakat sekitarnya atau tidak “

Ah jawabannya menyejukan. Ya, pada akhirnya bukan tentang apa status, posisi dan jabatan kita, namun apakah kita mempunyai peran dan kepedulian kepada orang sekitar kita. Karena siapapun bisa mempunyai peran yang sama, peran kebermanfaatan, tak peduli ia pengusaha, karyawan, mahasiswa, ibu rumah tangga, kita semua.

Pertanyaannya :

Apakah aku peduli ? Apakah kamu peduli ? Apakah kita peduli ?

Fn : Terimakasih Mas Dalu dan Mba Nafizah, untuk inspirasi juga pengingat hati.