Saat jatuh, terpuruk, atau situasi tidak sesuai dengan harapan & keinginan, tidak perlu terburu mencari hikmah, tidak perlu terburu menjadi bijak Memaksa diri untuk bijak, padahal hati & fikiran masih berontak.
Take your time…
Terima dahulu segala rasa di diri, tiada salahnya, kita manusia dengan segala rasa
Endapkan, uraikan, lepaskan…
Setelah itu perlahan tata lagi hati & fikiran, mencermati apa yang terjadi. Pelan pelan lakukan apa yang mampu kita kerjakan, perbaiki apa yang bisa diperbaiki, akui dengan jujur apa yang salah, apa yang kurang, seraya langitkan do’a sepenuh hati, agar terang langkah kemudian
Diperjalanan, tanpa sengaja biasanya hikmah itu didapatkan, tapi bukan dipaksakan. Diperjalanan hikmah itu hadir, menghangatkan diri kita, tanpa memaksa
Takut tambah dewasa Takut aku kecewa Takut tak seindah yang kukira Takut tambah dewasa Takut aku kecewa Takut tak sekuat yang kukira
Sebait lagu dari Idgitaf, berjudul “Takut”. Lagunya memang enak, banyak disuka anak anak zaman sekarang, apalagi anak GEN-Z. Lagu lagu teman saat saat sendu, romantisasi kegalauan, penyatu keresahan mungkin para -sebagian- generasi muda masa kini
Kalau hanya didengarkan sekilas saja sih lagu ini enak enak saja. Namun ada kekhawatiran dalam diri saya, tentang lagu ini disukai & diresapi berlebihan, juga saat jadi lagu “wajib” para pemuda yang memasuki usia dua puluh seperti yang ada di awal lagu. Lagu yang tidak hanya sekedar “curahan hati”, namun yang saya khawatirkan ini adalah jadi SUGESTI dan JUSTIFIKASI seorang yang memasuki usia pemuda dalam perjalanan hidupnya.
“Takut Tambah Dewasa” sekilas serasa romantis, namun bila terus dilantunkan, khawatir jusru jadi penanaman di alam bawah sadar mereka, bahwa menjadi DEWASA adalah sesuatu yang MENAKUTKAN, “Takut Kecewa-Takut TIdak Indah – Takut Tidak Kuat”….] begitu lanjutan lagunya
Seakan akan dalam dunia DEWASA semuanya akan menakutkan, mereka akan selalu kecewa, mereka akan tidak bisa melaluinya. Padahal masa dewasa ini adalah masa dimana mereka bisa mengambil tanggung jawab dalam hidupnya, masa dimana mereka bisa menggerakan potensi terbaiknya, bisa menjelang peran peran kebermanfaatannya untuk banyak orang. Menurut saya lagu ini, sedikit banyak menanamkan bahwa menjadi dewa begitu menakutkan
Aku sudah dewasa Aku sudah kecewa Memang tak seindah yang kukira Aku sudah dewasa Aku sudah kecewa Memang tak sekuat yang kukira
Usia dua puluhan dimana semangat semestinya bisa dikobarkan. Tantangan, kendala, naik turun kehidupan akan ada disetiap usia. Pemuda yang diharapkan tidak mudah menyerah. Kecewa adalah hal biasa, bagian dari kehidupan , ada masanya bahagia- ada masanya kecewa. Jangan karena kecewa maka berhenti berkarya, jangan takut dewasa hingga tidak kemana mana, tidak berbuat apa apa
Kekhawatiran saya akan lagu ini, jadi “MANTRA” yang menyelusup ke alam bawah sadar pada pemuda yang sebenarnya diharapkan banyak orang akan membawa banyak perubahan kebaikan, yang sebenarnya mempunyai potensi keunggulan, malah dikerdilkan dengan terus menerus mengamini tentang “Takut Dewasa” ini, hingga jadi SUGESTI & JUSTIFIKASI mereka untuk malas bertumbuh, bersembunyi dari dunia, terus terusan menggalau, malasa bertanggungjawab dalam mengambil peran dalam kehidupan
Sebuah lagu bisa berpengaruh dalam alam sadar seorang manusia, apalagi bila terus di dengung dengungkan. Bukan berarti tidak boleh jujur akan kata hati, tapi tentang sadar sepenuh hati, apa yang akan mempengaruhi jiwa, hati dan fikrian kita atas apa yang kita baca dan kita dengar …
So, para pemuda JANGANLAH TAKUT DEWASA, karena menjadi DEWASA adalah sebuah kemuliaan, anugrah, kesempatan untuk menjadi MANUSIA yang PARIPURNA. Manusia yang mau terus bertumbuh, siap jatuh dan bangun, siap untuk menjelang dunia yang penuh warna
Menjadi DEWASA adalah saatnya untuk tahu apa, mengapa & bagaimana, mau kemana diri kita. Menjadi DEWASA adalah kesempatan untuk bisa menyebarkan KEBAIKAN seluas luasnya untuk diri sendiri, keluarga & banyak orang. Menjadi DEWASA adalah saat yang tepat untuk mei, menemukan makna, dan memunculkan versi terbaik diri kita.
So, Ganti kalimat “Takut Jadi Dewasa” menjadi “Aku Mau Jadi Dewasa …!”
” Ga seru ama kamu mah, kan aku cerita doang, ini malah ngasih nasihat, aku ga butuh…”
—
Ada masanya dalam persahabatan itu, bukan hanya tentang kebersamaan, saling mendukung, saling mensuport, thats it!
In another level, persahabatan sebaiknya adalah lingkaran yang bisa saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan, bukan hanya tentang “apa pun yang kamu mau aku dukung ko!”
Bila sahabat kita salah, maka kewajiban kita adalah untuk mengingatkan, begitu pun sebaliknya, Apabila ada salah dalam diri kita, maka berluas jiwalah untuk mendapatkan nasihat.
Tidak mengapa, bila akibatnya kita disebut temen ga asik!, karena memberikan masukan, menyampaikan nasihat kebenaran, dikala mungkin sang sahabat hanya menginginkan persetujuan dan dukungan dari kita dari apa yang kita lakukan.
Bila ia salah maka sampaikanlah sebagaimana adanya, tentunya dengan niat yang bersih, cara yang baik, dan kalimat yang tepat. Tak apa menjadi “teman ga asik” itu, karena dalam ketidakasikan itu, tertanam rasa sayang sejati terhadap sahabat kita.
Jangan sampai justru dukungan kita, atau diamnya kita, justru membuat ia terjerumus lebih dalam dalam kesalahan, karna ia merasa baik baik saja, tidak apa apa.
—
Lebih dalam dari itu, persahabatan pun kelak akan dimintakan pertanggung jawaban di akhirat. Jangan sampai didunia jadi sahabat yang saling mendukung dan membersamai, namun kelak di akirat jadi sahabat yang saling menuntut dan menghujat.
” Tuhan, memang benar saya berbuat kesalahan. Tapi sahabat saya tidak pernah mengingatkan saya bahwa saya salah, padahal ia tau saya salah Tuhan, tapi dia diam saja, hukum juga dia Tuhan …”
Semoga kita dijauhkan dari hal semacam ini, hanya karena kita tidak berusaha saling mengingatkan
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”(QS. Az-Zukhruf: 67)
—
Maka, tak apa bila di dunia kita menjadi seperti temen ga asik!, karena menasihati, mengingatkan, yan berdasar kasih sayang karena Allah ta’ala
Dan sebaliknya, luaskan jiwa kita pula, saat menerima nasihat, kala mendapat masukan. Bisa jadi itu adalah cara Allah menyelamatkan kita dari kesalahan dan kemungkaran, melalui sahabat tercinta
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ – Dan Allah lebih tahu yang yang sebenarnya
Ada kala kita ingin menasihati seseorang dalam lingkaran kita, teman, sahabat atau keluarga terdekat. Memberi nasihat adalah hal mulia, karena ada kebaikan yang ingin kita sampaikan, atau ada ketidakbenaran yang kita rasa dan perlu diluruskan
Dan kurasa yang terberat dalam menasihati adalah ; membersihkan niat
Mencari tahu dengan seksama apakah niat diri dalam menasihat adalah karena rasa peduli, bentuk kasih sayang, kewajiban sesama saudara seiman, ataukah ada bentuk lain yang tersamar ; entah benci, dengki, hasad, atau kesombongan yang sebenarnya terpendam
Karena saat jiwa tidak bersih, niat tidak lurus, terkotori dengan dengki diri dll, maka nasihat bukan lagi sebuah kewajiban atau ungkapan sayang, namun ambisi untuk mengalahkan, menjatuhkan bahkan mempermalukan
Apalagi kalau kita “memberikan” nasihat di depan khalayak. Sesaat mugkin ada rasa kemenangan saat kita “menjatuhkan” ia dalam balutan memberi nasihat. Namun pada akhirnya kualitas diri kitalah yang akhirnya akan nampak.
Maka ini semacam nasihat kepada diriku sendiri :
“Sebelum memberikan nasihat, menengoklah terlebih dahulu kepada niat ; jangan jangan ada yang tersembunyi disana, bukan karena Allah Ta’ala, namun karena nafsu diri yang mengembara”
Kita semua butuh ruang sunyi, ruang yang hanya ada diri kita
Berbicara hati ke hati, dengan penuh ketulusan
Berbincang dengan diri, menyimpan sementara segala tuntutan
Ruang sunyi yang hanya ada kejujuran
Antara aku dan aku
—-
Rasanya setiap manusia butuh “Ruang Sunyi” nya sendiri. Berlepas dari segala yang ada di sekelilingnya, dari kesehariannya, dari rutinitasnya, yang tiada henti. Apalagi di zaman tekhnoogi yang seperti ini, rasa rasanya kita tidak pernah berhenti dari berkomunikasi dengan orang lain, bertukar pesan, saling menimpal, saling berkomentar. Dari pagi, hingga menjelang malam, kita selalu “berbicara” dengan seseorang di luar kita.
Apakah hanya saya saja yang merasa, bahwa manusia butuh Ruang Sunyi untuk sejenak lepas dari berbagai hal ari luar, baik itu berita dan informasi yang tidak berhenti dikonsumsi, yang sampai kadang tak memberi batas mana yang perlu dan tidak perlu, mana yang bermanfaat mana yang tidak, mana yang menjadi sumber kebaikan, hingga mana yang hanya memubazirkan waktu dan fikiran.
Bagi saya, Ruang Sunyi adalah sebuah kebutuhan, yang hanya ada aku dan diriku, yang duduk berdampingan, kemudian saling bertanya tentang apa yang dirasakan, apa yang sedang difikirkan, apa yang benar benar diinginkan. Bercerita dengan kejujuran, dan hanya kejujuran
Banyak hal yang biasa saya lakukan untuk menciptakan Ruang Sunyi ini. Terkadang dengan berjalan kaki setelah subuh, sambil menghirup udara pagi dan menanti sapaan matahari. Atau kadang, menyetir sendiri di malam hari, mengelilingi kota yang sudah sunyi, atau sesederhana mematikan notifikasi, apapun itu.
Sebenarnya Allah sudah menyediakan kita Ruang Sunyi ini menurutku, yaitu sehabis shalat, saat kita selesai berzikir atau berdoa, rasanya walau sebentar ada waktu yang bisa kita manfaatkan untuk menikmati Ruang Sunyi ini. Apalagi apabila kita bangun di sepertiga malam, ada Ruang Sunyi yang begitu indah dan istimewa
Ruang Sunyi ini begitu spesial, karena kita, dimana tidak hanya berbincang dengan diri sendiri, kita pun bisa “berbincang” dengan Sang Pencipta dengan syahdu, privately. Dimana kita bisa mendengar suara hati kita, dengan lebih jelas, lebih terang, lebih jujur. Karena siang hari tak hanya raga, namun jiwa kita pun disibukkan dengan berbagai urusan, ambisi dan kepentingan. Hingga apa yang kita rasakan, inginkan dan butuhkan sebenarnya seringkali terbiaskan.
اِنَّ لَـكَ فِى النَّهَارِ سَبۡحًا طَوِيۡلًا
” Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan-urusan yang panjang ” QS Al-Muzammil Ayat 7″
Allah ingin kita memasuki Ruang Sunyi yang lepas dari urusan urusan duniawi, urusan2 yang seringkali melelahkan pikiran dan perasaan, Allah ingin kita masuk ke Ruang Sunyi untuk mendapatkan ketentraman & kedamaian. Allah ingin kembali memurnikan kita di ruang sunyi itu.
Ruang Sunyi yang tidak hanya kita bisa berbincang dengan diri sendiri, namun kita bisa berlama lama berbincang dengan-Nya.
Ruang Sunyi dimana kita bisa mengutarakan apa yang kita rasa, baik mengutarakan syukur tentang bahagia ataupun gundah gulana. Meluapkan segala perasaan dengan penuh kejujuran, yang seringkali kita sembunyikan dikeramaian. Mengucapkan setulus tulus keinginan dan harapan. Hanya di Ruang Sunyi itulah kita bisa apa adanya, mengakui kesalahan, kelelahan, bahkan menerima kekalahan
Ajaibnya, Ruang Sunyi itu adalah sekaligus tempat dimana kita mendapatkan ketenangan, kekuatan juga harapan. Dimana seringkali kitapun mendapatkan jawaban dari segala pertanyaan pertanyaan atau kebingungan yang tidak berhenti melingkar. Bahkan kesadaran, kebajikan, dan perubahan diri, seringkali di dapatkan dari ruang ini.
Maka, saya pribadi sangat membutuhkan ruang ini, untuk mencari ketentraman dan ketenangan diri yang sesungguhnya. Ketentraman dan ketenangan yang sumbernya dari Dzat yang Maha Cahaya, Maha Pelindung, Maha Sayang kepaa kita Hamba-Nya….
Pekan kemarin meninggalkan banyak pesan pada jiwa saja. Beberapa berita duka dari yang ditinggalkan oleh orang orang tercinta, rupanya membuat saya merenungkan tentang ini ; Tentang meninggalkan dan ditinggalkan
Menerima atau tidak, entah dalam apa bentuknya, kapan waktunya pada akhirnya salah satu yang harus di hadapi oleh manusia adalah sebuah perpisahan. Tentang meninggalkan atau ditinggalkan
Perpisahan yang dalam bentuknya tidak hanya sebatas perpisahan tentang kehidupan dan kematian. Namun kadang berupa “perpisahan-perpisahan” kecil di dunia. Perpisahan seorang anak dengan orangtuanya setelah pernikahan, perpisahan dengan sahabat, perpisahan rekan berkarya, atau perpisahan dua orang yang saling mencinta, dan lain sebagainya.
Tentang meninggalkan atau ditinggalkan. Sebuah kenyataan dan fitrah kehidupan yang akan dialami oleh setiap orang, tanpa kita akan tahu siapa yang akan meninggalkan atau siapa yang akan ditinggalkan
Lalu haruskah kita resah gelisah akan hal ini ?Takut meninggalkan atau ditinggalkan ?
Lalu bisakah kita meminta agar kita tidak pernah dipisahkan dengan sesuatu atau sesorang yang kita cintai ?
Lalu bolehkah kita meminta agar selalu bersama, selama lama lama lama ….. nya ? (Seperti dialog patrick dengan spongbob …hhe)
Kekhawatiran atas perpisahan, perasaan kehilangan, kesedihan atas selesainya kebersamaan, adalah sebuah hal yang tidak apa apa, kita adalah manusia, yang dianugrahi perasaan dari Sang Pencipta.
Namun jangan sampai segala rasa itu menjadikan kita tidak menerima apa yang apa apa yang telah menjadi ketetapan-Nya.
Jangan sampai kita mengharapkan apa yang fana menjadi abadi, karena tidak akan pernah terjadi.
Jangan sampai kita menjadi terlupa bahwa apa apa yang ada di dunia ini rapuh, fana, sementara dan tiada yang abadi.
Karena, benar adanya bila kita hanya menyandarkan hidup kita kepada seseorang atau sesuatu, siapa pun dan apapun itu ; pasangan, orangtua, anak, diri sendiri, kemampuan, keinginan, harapan, apa pun itu yang ada di dunia ini , maka semua itu rapuh. Suatu saat kita akan meninggalkan atau ditinggalkan
Kadang saat terlalu mencintai seseorang ; baik pasangan , anak, atau orangtua barangkal, ada terbersit rasa bahwa akan tidak berdaya tanpa mereka, tidak bisa hidup tanpa mereka, dan perasaan semacamnya
Karena saat “menggenggam” sesuatu atau seseorang terlalu kuat, mendekap terlalu erat, mencintai terlalu pekat, membuat terlupa, bahwa sesungguhnya itu semua bukan mutlak milik kita, bahkan diri ini pun bukan milik kita. Ada saatnya kita meninggalkan atau ditinggalkan
Kita lupa bahwa semua yang ada, semua yang terasa adalah fana, bisa hilang atau terhenti, atau memang sudah saatnya berganti. Seringkali terbersit hati, ingin menikmati apa yang dimiliki ini selamanya. Padahal yang selamanya ini bukan disini, bukan di kehidupan ini. Di kehidupan ini akan ada yang ditinggalkan atau meninggalkan
Nanti. Ada saatnya kita menikmati yang selamanya, kelak disana. Kita berharap dan sangat berharap karena Ridha Allah Swt, kita menikmati saat selamanya dengan sesiapa yang kita sayangi di dunia ini, dan tempatnya adalah di Jannah-Nya.
Aamiin Yaa Rabbal Alamiin …
Maka, semoga iman dan taqwa selalu tertanam dalam jiwa kita dan orang orang yang kita sayangi, agar kelak kita bersama mereka di tempat yang indah disana, tempat kebersamaan yang tidak berkesudahaan, tempat segala kebahagiaan diberikan, tempat yang akan bisa kita sematkan kata “selamanya”, tempat yang tidak ada lagi kisah meninggalkan dan ditinggalkan
Semoga kapanpun kita dipisahkan, kelak kita akan kembali dikumpulkan dalam tempat nan abadi, Jannah-Nya.
Aamiin yaa rabbalalamiin
Fn : Sebuah nasihat terutama untuk diri saya sendiri, semoga bermanfaat pula untuk kamu yang sedang membaca ini 🙂
Sudah lama rasanya saya tidak menulis disini. Padahal banyak rasa, kata, cerita yang terkumpul di kepala.
Sebelumnya saya sering menargetkan diri untuk bisa melakukan ini itu -termasuk menulis disini-, namun memang satu atau lain hal, akhirnya beberapa target itu tidak atau belum tercapai
—
Saat suatu target tidak tercapai, semacam ada rasa kecewa pada diri sendiri ; “Ko kamu ga bisa sih? harusnya kan …” kurang lebih begitulah monolog dalam diri, yang terjadi bukan sekali dua kali.
Lalu saya mulai mengevaluasi diri, kenapa sih saya tidak bisa memenuhi target target tersebut …
Awalnya saya mengira ini bukan manajemen waktu, tentang kemalasan atau kebiasaan menunda, yang mungkin ada dalam diri saya. Tapi akhirnya saya sadar, bahwa ini bukan tentang hal hal tersebut, namun tentang prioritas tujuan yang harus dijalani satu satu
Belum lama ini, saya termasuk orang yang cukup kuat dalam berkeinginan untuk bisa melakukan beberapa urusan, target dan urusan -terutama yang melibatkan pekerjaan fikiran- dalam satu waktu. Ada kondisi saya “menuntut” diri untuk harus bisa pagi kerjakan A, kerjakan B, sore-malam urus C. Dalam satu hari semuanya harus sempurana terkerjakan. In that time ; i feel that i push my self to much
Seiring usia, pengalaman dan pendewasaan hidup #tsaahhhhh … akhirnya saya mulai di fase, bahwa ada saatnya kita tidak bisa menjalankan banyak hal. Atau tepatnya, ada saatnya kita memilih untuk tidak menjalankan beberapa hal sekaligus
Satu satu ….
Saya termasuk orang yang mudah berpindah pindah dalam fikiran. Ide, gagasan, loncatan fikiran sering membuncah buncah dalam otak saya, dan itu terjadi secara alami saja. Dan saat itu, seringkali saya cukup reaktif dalam meresponnya, tiba tiba ide yang muncul tersebut ingin segera dilakukan, gemes pengennya segera di eksekusi, dan diri ini merasa mampu untuk sekaligus mengekesusinya.
Sebenarnya hal itu adalah anugrah, dilimpahi kemudahan ide, gagasan, dan banyaknya cita cita. Tugas saya selanjutnya adalah bagaimana saya menata prioritas, fokus dan langkah untuk mengelolanya.
Dulu “ambisi diri” mengatakan bahwa saya mampu ko melakukan banyak keinginan tersebut sekaligus. Namun, pengalaman dan pendewasaan diri akhirnya mengajak saya untuk bijak untuk melakukannya satu-satu, sabar, dan terencana
Dulu ambisi diri tersebut, seringkali membuat fikiran saya mudah lelah, karena fikiran di paksa berpindah dari urusan satu ke urusan lain. Belum lagi, perasaan bersalah dan menyalahkan diri ketika target target tersebut tidak tercapai
Sekarang saya belajar untuk lebih “kalem” aja menjalani hidup, selama kita tahu tujuan akhir kita kemana, kita yakin apa yang sedang dijalankan sekarang adalah jalan kebaikan, kita tidak sedang bermalas malasan, dan kita menjalaninya dengan terencana dan penuh kesungguhan
Satu satu ….
Semua ada saatnya, tak perlu semua dilakukan saat ini, tabung rapih cita, semua ada waktunya
kalimat bijak yang sering kita dengar tentang nasihat agar kita tidak kembali melakukan kesalahan yang sama atau pada perkara yang sama.
Selintas terdengar mudah, walau pada kenyataanya tidak semudah itu bukan ?
Karena memang tidak selalu “se-otomatis” itu kita belajar dari kesilapan masa lalu, tidak ada penjaminan saat kita salah di masa lalu maka kita akan benar di masa depan, tidak selalu kita bisa bercermin dari hari yang lalu
Dan pada akhirnya -entah sadar atau tidak- kita melakukan kesalahan yang sama, pada perkara yang sama ….
—-
Barangkali seperti ini sebaiknya ; alih alih dari langsung menyatakan tentang bagaimana “Belajar dari kesalahan masa lalu …”yang pertama kali baiknya dilakukan adalah : “Menyadari bahwa masa lalu adalah sebuah kesalahan…”
Karena kesadaran adalah awal mula perubahan. Menyadari tentang rangkaian pikiran, rasa, atau tindak yang tidak tepat yang telah kita lakukan semasa itu …
Menyadari tentang apa saja yang telah kita lewatkan, menyadari perkara penting apa yang telah kita abaikan, menyadari apa yang saat itu sempat kita lupakan
Menyadari pada apa kita terbuai, pada apa kita terlena, pada sesiapa kita terjebak…
Mengakui adalah langkah selanjutnya. Karena kadang kita enggan untuk mengakui kesalahan dengan berbagai alasan. Entah alasan yang berupa pembelaan serta pemakluman diri, atau pun rasa gengsi untuk berani menerimanya sebagai kesalahan yang memang kita lakukan
“This is because of him ….”
“This is out of her …”
“This happen by reason of circumstances ….”
Apalagi alih alih kita menempatkan kesalahan tersebut kepada orang lain atau keadaan. Menempatkan diri kita seolah olah hanya sebagai korban tiada daya, korban keadaan, korban orang lain. Maka, bila kita terkungkung di sudut ini, maka tiada kita kemana mana ….
Maka lapangkanlah dada dan rasa, bahwa itu ada karena ada peran kesalahan dan kesilapan kita juga …
“Its oke beeing wrong, people made mistake, me – you – we are ….”
Apabila kita sudah menyadari dan mengakui kesalahan tersebut, maka akan lebih terang bagi kita untuk mengintropeksi diri. Melamati tentang di bagian mana kesalahan kita, di sudut pandang mana kita tertabir, di peta pikiran mana terjebak dan rasa apa kita telah terjerembab
Kemudian setelah itu, menjernihkan hati tentang bagaimana yang benar dan seharusnya
Menyadari, mengakui, dan mengintropeksi diri adalah bekal kita untuk menghadapi masa kini dan masa depan.
Maka, ketika menghadapi kondisi yang kurang lebih atau serupa dengan kejadian di masa lalu, maka kita bisa kembali melihat “catatan” masa lalu, bercermin darinya, memandanginya, berbincang dengannya